Oyen Si Miko, Sahabat Bebek

Di sebuah desa kecil yang damai, hiduplah seekor kucing oren bernama Miko dan seekor bebek putih bernama Kiki. Mereka bersahabat sejak kecil, tumbuh bersama di halaman belakang rumah seorang petani tua yang baik hati. Tiap pagi, Miko akan menggeliat malas di atas pagar kayu sementara Kiki sibuk mengoceh dan mengepakkan sayap di kolam kecil di sudut kebun. Saat matahari terik, mereka berdua berteduh di bawah pohon mangga, saling bercerita lewat bahasa tubuh dan suara-suara kecil yang hanya mereka berdua mengerti.



Kehidupan sederhana itu berlangsung bertahun-tahun. Meski berbeda jenis, mereka tak pernah merasa asing. Miko yang cuek dan pemberani selalu menjaga Kiki yang ceroboh dan penakut. Saat ada anjing kampung lewat, Miko akan melotot dan mendesis, berdiri gagah di depan Kiki. Dan Kiki, meski tak bisa bertarung, selalu menenangkan Miko dengan suara lembutnya ketika kucing itu marah-marah tak jelas.

Namun musim kemarau tahun itu datang lebih cepat. Sang petani mulai kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Suatu pagi yang muram, Miko tak menemukan Kiki di kolam. Ia mencari ke seluruh sudut kebun, memanggil-manggil dengan suara khasnya. Tapi yang ia temukan hanyalah bulu-bulu putih berserakan di dekat dapur. Miko mendekat, dan hidungnya mencium bau amis yang aneh dan asing—bau darah. Ia mengeong pelan, seperti memanggil sahabat yang sudah tak bisa menjawab.

Keesokan harinya, saat Miko masih duduk terpaku di depan dapur, seekor anjing liar masuk ke halaman. Anjing itu besar, berbulu hitam kusam, dan matanya liar. Ia menyalak keras, mencoba menguasai wilayah. Miko tak mundur. Dengan sisa-sisa keberanian dan kesedihan yang membakar dada, ia melompat dan mencakar wajah anjing itu.

Pertarungan berlangsung sengit, penuh debu dan suara jeritan. Tapi tubuh Miko sudah tua dan lelah. Ia tak mampu melawan lebih lama. Saat petani datang dengan tongkat, anjing itu sudah menggigit tubuh Miko, mengguncangnya seperti mainan tua.

Miko mati di hari yang sama Kiki disembelih. Mereka dimakamkan berdampingan di bawah pohon mangga tempat biasa mereka duduk bersama. Dan saat senja turun, langit di atas desa itu berwarna jingga—warna bulu Miko, warna yang kini abadi dalam kenangan pohon tua dan kolam sunyi yang tak lagi berbunyi.

Comments

Popular posts from this blog

Kesempatan Kedua