Sang Penjaga Malam (Si Sebatang Kara Part #2)

Malam-malam yang hening dan hujan seperti ini memang sangat cocok untuk beraksi. Orang-orang yang lelah, beraksi dengan merebahkan badan dan mengunjungi dunia mimpi. Dan orang-orang yang kehabisan akal untuk bertahan hidup akan beraksi dengan cara mengunjungi rumah orang-orang yang sedang lengah lalu mengambil hartanya. Ini sudah beberapa kali kejadian di desa kami. Sepeda motor, handphone, hingga uang tunai, raib dari tempatnya. Desa kami telah berubah menjadi desa yang siaga. Setiap malam, warga saling bersahutan di WAG untuk saling mengabarkan kondisi jalanan dan saling melacak posisi masing-masing, kalau-kalau ada hal yang perlu diwaspadai dan harus diambil tindakan.

Malam-malam kami telah berubah menjadi malam-malam yang siaga. Ada di mana aku? Aku lebih sering berada di dunia digital, tanpa lampu untuk menghindari laron, tanpa suara untuk menghindari bising. Dan saat ada suara "ngok, ngok, ngok", aku akan melepas headphone-ku lalu segera menuju ke jendela depan untuk melihat apakah ada orang-orang mencurigakan di depan rumah. Ya, aku beruntung karena ada suara alarm alami berupa bunyi "ngok, ngok, ngok" yang akan mengingatkan seluruh penghuni rumah saat ada suspicious movement atau gerakan mencurigakan di sekitar rumah. Alarm ini adalah suara milik sepasang angsa putih yang sudah setengah tahun ini membantu kami berjaga saat malam. Mereka ibarat CCTV canggih kekinian dengan fitur motion detection yang mendeteksi gerakan lalu mengirimkan suara peringatan.

Angsa-angsa putih yang kini jadi satpam ini juga punya karakter yang unik. Mereka mungkin penikmat musik folk karena kulihat mereka sangat bahagia saat gerimis datang. Setiap rintik hujan turun, mereka akan berlari ke halaman rumah bahkan ke jalanan untuk menikmati air yang turun dari langit, seakan tak mau melewatkan pesta rakyat. 
Aku sendiri bukannya tak suka mereka hujan-hujanan di jalan, hanya saja aku khawatir mereka akan mengagetkan pengendara mobil atau sepeda motor yang melaju kencang karena terburu-buru menghindari hujan, atau malah sialnya mereka yang akan menjadi korban tabrak lari.
Saat kuhalau mereka menuju belakang rumah, mereka akan berlari-lari kecil dengan sayap terentang, mirip orang yang hendak memeluk keluarganya. Ya, bersayap tapi tak bisa terbang, sama dengan kita yang mengira angan-angan tinggi kita akan bisa menerbangkan kita.

Siang ataupun malam, saat ada anjing-anjing yang memasuki pekarangan, duo satpam putih ini akan dengan sigap menghalau mereka ke jalanan, dan lalu mereka akan bersantai di sudut halaman hingga mereka merasa situasi telah aman, lalu mereka akan kembali ke pos mereka di samping atau belakang rumah. Aku merasa lega karena tak perlu lagi mengusir anjing-anjing yang datang. Bukannya aku phobia anjing, hanya saja telah beberapa kali ayam-ayam di belakang rumah kami harus meregang nyawa karena menjadi mangsa dari anjing-anjing yang tentu saja tak bisa kuidentifikasi anjing yang mana, milik siapa, siapa namanya, dan lain-lain. "Anjing makan ayam?, it's their nature! Itu alami kawan, jangan dihalangi". Kata suara kecil di kepalaku. "Alami kepalamu!. Kalau terjadi di alam liar barulah alami, tapi ayam-ayam ini ada pemiliknya", jawab suara lainnya di kepalaku.

Angsa-angsa ini adalah hewan yang sulit untuk dipegang, tidak seperti ayam ataupun itik. Mereka juga tidak jago dalam hal melompat. Badan mereka berat. Kaki mereka menjejak dengan kuat dan mantab. That's why, saat mereka terperosok ke dalam kolam yang tidak terlalu dalam, akan sangat sulit untuk naik ke permukaan tanpa bantuan. Tapi mereka adalah hewan yang setiakawan.

Saat air di kolam ikan belakang rumah meluap karena hujan deras, angsa-angsa ini tak akan melewatkan kesempatan untuk berenang sepuasnya, dan karena lalai, si jantan tertinggal di kolam saat airnya telah surut. Berbagai cara telah kulakukan untuk mengentaskannya kembali ke atas. Dari membuatkan "jembatan" dari kayu-kayu papan, memindahkan batu-batu besar ke sudut kolam untuk jadi pijakan, dan angsa yang berat ini sulit sekali untuk mengangkat badannya. Si betina yang setia kawan lalu diam-diam menyusulnya melompat ke kolam saat malam tiba, lalu mereka baru akan berhasil kembali ke atas setelah diupayakan oleh tiga orang. Dua orang menggiringnya ke sudut kolam, satu orang lainnya memegang lehernya dan melemparkannya ke daratan. Begitulah kisah kesetiaan angsa putih yang merepotkan dunia manusia.

Aku telah terbiasa terbangun setelah lewat tengah malam atau menjelang subuh, entah terbangun dengan sendirinya, atau karena mendengar suara-suara yang perlu diwaspadai. Dan itu biasanya membuatku kembali beraktivitas di dunia digital sekedar untuk menunggu rasa kantuk kembali datang. 

Hanya saja beberapa hari yang lalu, aku kaget saat menjumpai obrolan di WAG antara kakakku dan warga desa mengenai hilangnya seekor angsa. Ya, sejoli angsa penjaga itulah yang kini tersisa satu ekor. Sang betina telah diangkut menggunakan kendaraan truck oleh sosok anonim, sedangkan aku yang biasanya terbangun, kali ini benar-benar tertidur pulas! What the hell!. Siapakah mereka? Tentu aku tak bisa mengeceknya karena CCTV kami sedang off karena kehilangan sumber daya, dan tugas CCTV ini sudah lama digantikan oleh sejoli putih ini. Namanya "CCTV", saat satu bagiannya diangkut maling, bagaimana cara kita melihat kejadiannya? Perumpamaan yang tidak mirip!

Si angsa jantan kini sering duduk sendirian di pinggir jalan depan rumah sambil memperhatikan jalanan. Kadangkala dia bolak-balik antara samping rumah dengan pinggir jalan sambil berteriak-teriak seolah melihat bahaya. Aku tahu, itu hanya keterbatasanku dalam menerjemahkan teriakannya. Bisa jadi dia sebenarnya sedang meratapi belahan hatinya yang kini ada di antah berantah. Aku paham, pasti ia tak terima satu-satunya teman satu spesies yang ia miliki direnggut paksa dari sisinya.

Ya, selain ada kucing sebatang kara, kini juga ada angsa sebatang kara.

Jangan lupa simak kisah hewan-hewan lainnya di blog ini pada episode mendatang! See ya.

Comments

Popular posts from this blog

Kesempatan Kedua

Oyen Si Miko, Sahabat Bebek