Si Sebatang Kara

Si sebatang kara ini sekarang tak ada pilihan lain selain bersamaku.

Dulunya dia tidaklah sebatang kara. Dua lima November tahun lalu dia lahir di lemari pakaianku, bersamaan dengan tiga saudaranya yang lain. Ya, mereka tak butuh bidan pastinya.

Pada hari ke-tiga, satu saudaranya mati dimakan ibunya sendiri. yang kujumpai hanya sisa sepenggal dagingnya yang berlumuran darah. Entahlah, banyak orang  bilang bahwa kucing dengan tiga warna indah akan menyebabkan bahaya di masa mendatang sehingga sang induk lebih baik membunuhnya daripada si anak menanggung beban nantinya. Bukan karena si induk adalah cenayang, hanya animal instinct.

Pada bulan ke-dua, seorang saudaranya, yaitu si bungsu hilang terbawa mobil tuannya yang menuju distrik sebelah. Salahnya juga sih, dia dan saudara-saudaranya suka sekali menghangatkan diri dengan cara masuk ke mesin mobil lewat bagian bawah. Si bungsu ini sebenarnya masih survive hingga saat ini. Ia hidup di ujung barat desa ini bersama seekor burung beo, tapi si sebatang kara ini tentu tak lagi mengenalinya, sebagaimana terhadap bapaknya.

Pada bulan ke-tiga, tuannya yang tak tahan dengan kelakuan absurd induknya yang tak bisa membedakan mana WC dan mana tempat tinggal manusia, akhirnya membawa induknya ke lokasi antah berantah dengan cara memasukkannya ke dalam motor matic sport berbagasi besar, dan akhirnya dia tak pernah lagi menjumpai anak-anaknya setelah sebelumnya pernah berhasil kembali pada percobaan pengasingan sebelumnya. A banishment for good. Hanya pengaturan untuk kebaikan semua orang.

Pada bulan ke-lima, si sebatang kara dan satu-satunya saudara mudanya tak lagi mengenali bapaknya yang datang menjenguknya. Mereka berdua meneriaki dan mengusir bapaknya setiap kali dia datang untuk melihat keadaan putra-putra mungilnya yang kini sudah mendekati akil balig.

Pada bulan ke-sembilan, si sebatang kara dan adiknya mulai punya kehidupan pribadinya masing-masing. Si sulung biasa menghilang pada malam hari dan pulang pada pagi harinya. Si adik menjadi anak tunggal saat malam, dan menikmati keceriaan dengan kakakknya pada siang hari.

Pada bulan ke-sepuluh, si adik juga mulai mengenal dunia malam. Dua malam dia pergi, menyebabkan si sulung kakaknya tak doyan makan dan hanya tidur saja kerjanya. Hari ketiga saat si adik pulang, si kakak kembali ceria dan mereka kembali menghabiskan siang hari untuk merobohkan barang-barang di ruang tamu dan di kamar tidurku.

Beberapa hari berlalu, si adik menghilang selama tiga hari. pada hari ke-empat, dia muncul di depan rumah, tapi tak lagi merespon kakaknya ataupun panggilan tuannya, seolah-olah dia hanya musafir yang lewat. Dia pun menghilang lagi selama beberapa hari.

Suatu siang yang terik, tuan muda bungsu yang masih bocil histeris melihat si adik kucing yang lama menghilang, kini terbaring di got dalam keadan basah-basahan dan tak bisa bangkit. Kami segera menghangatkan tubuhnya dan mengeringkan kulitnya dengan hairdryer. Sayang sekali, dia tak merespon makanan atau minuman apapun. Bahkan susu beruang kesukaannya baru bisa masuk setelah kupaksa masuk ke mulutnya dengan bantuan plastik injeksi minuman. Dan sore hari yang berat itu lalu terjadi juga, si adik telah kaku di kardus yang hangat dengan posisi menyamping dan mulut terbuka sebelah kirinya, menampilkan gigi-giginya. Susu beruang mengalir bertumpahan dari mulutnya seolah sedang overdosis. Memang ada luka memar pada leher belakangnya, membuat kulit leher yang ditarik tak langsung kembali. Duhai makhluk tuhan yang jenaka, siapa gerangan yang tega melukaimu? Jika tak sanggup berbuat baik pada makhluk tuhan, janganlah menjadi perantara mautnya.

Dan akhirnya setelah sepuluh bulan usianya, si sulung kini sebatang kara. Memang kini dia jadi sangat jinak dan kolokan, setelah sebelumnya gelar itu dipakai adiknya yang baru saja tiada. Si adik dulu bahkan terbiasa memanjat dengan posisi seperti berdirinya manusia, lalu merambat pada kakiku yang sedang duduk di kursi, hanya untuk menyatakan bahwa dia lapar atau butuh perhatian. Sayang sekali, semua itu tinggal cerita saja.

Kini tak ada lagi si sulung yang gemuk, yang ada hanyalah si sebatang kara dengan badan kurus yang sulit makan. Sepanjang hari selalu mengeong, tapi tak semua makanan bisa dia telan.

Malam ini, mau tak mau dia ikut makan malam bersamaku dengan mi goreng instan yang tadi kubuat di dapur. Lembar-demi-lembar mi goreng lenyap masuk ke mulutnya. Dia memang tak mau memakan segepok mi yang disajikan padanya, dan lebih memilih disuap lembar demi lembar.  Mungkin itu hanya ekspresi manjanya sebagai the last son in the house 

Saat kulihat dia memiringkan kepalanya untuk menerima selembar mi goreng dari arah atas kepalanya, terlihat giginya dari samping, penuh rasa patuh dan nrimo, lalu menyedot lembar mi goreng itu hingga masuk ke mulutnya.

Seketika jatuh air mataku melihat makhluk tak ber-hisab ini. Wahai kucing sebatang kara, apa tujuan hidupmu? Apa yang kau inginkan dalam hidup ini? Tidak kah kau khawatir mengenai hari esok? Yang ku tahu dalam setiap diammu, dengkuranmu berisi dzikir untuk mengagungkan penciptamu.


Nantikan episode selanjutnya mengenai makhluk-makhluk tuhan dengan keunikannya masing-masing. Ditunggu komentar kalian ya, wahai para pecinta hewan dan para pecinta makhluk tuhan

Comments

Popular posts from this blog

Kesempatan Kedua

Oyen Si Miko, Sahabat Bebek